Showing posts with label CAHAYA INSPIRASI. Show all posts
Showing posts with label CAHAYA INSPIRASI. Show all posts

Thursday, January 10, 2019

Tidak cukupkah jika hanya allah yang tahu?

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِىَّ الْغَنِىَّ الْخَفِىَّ
“Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, hamba yang hatinya selalu merasa cukup dan yang suka mengasingkan diri.”[1] Mengasingkan diri berarti amalannya pun sering tidak ditampakkan pada orang lain.
Ibnul Mubarok mengatakan, “Jadilah orang yang suka mengasingkan diri (sehingga amalan mudah tersembunyi, pen), dan janganlah suka dengan popularitas.”
Az Zubair bin Al ‘Awwam mengatakan, “Barangsiapa yang mampu menyembunyikan amalan sholihnya, maka lakukanlah.”
Ibrahim An Nakho’i mengatakan, “Kami tidak suka menampakkan amalan sholih yang seharusnya disembunyikan.”
Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan bahwa Abu Hazim berkata, “Sembunyikanlah amalan kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan amalan kejelekanmu.”
Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Sebaik-baik ilmu dan amal adalah sesuatu yang tidak ditampakkan di hadapan manusia.”
Basyr Al Hafiy mengatakan, “Tidak selayaknya orang-orang semisal kita menampakkan amalan sholih walaupun hanya sebesar dzarroh (semut kecil). Bagaimana lagi dengan amalan yang mudah terserang penyakit riya’?”
Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Sudah sepatutnya bagi seorang alim memiliki amalan rahasia yang tersembunyi, hanya Allah dan dirinya saja yang mengetahuinya. Karena segala sesuatu yang ditampakkan di hadapan manusia akan sedikit sekali manfaatnya di akhirat kelak.”[2]
:: Contoh para salaf dalam menyembunyikan amalan mereka ::
Pertama: Menyembunyikan amalan shalat sunnah
Ar Robi bin Khutsaim –murid ‘Abdullah bin Mas’ud- tidak  pernah mengerjakan shalat sunnah di masjid kaumnya kecuali hanya sekali saja.[3]
Kedua: Menyembunyikan amalan shalat malam
Ayub As Sikhtiyaniy memiliki kebiasaan bangun setiap malam. Ia pun selalu berusaha menyembunyikan amalannya. Jika waktu shubuh telah tiba, ia pura-pura mengeraskan suaranya seakan-akan ia baru bangun ketika itu. [4]
Ketiga: Bersedekah secara sembunyi-sembunyi.
Di antara golongan yang mendapatkan naungan Allah di hari kiamat nanti adalah,
وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ
Seseorang yang bersedekah kemudian ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya.[5] Permisalan sedekah dengan tangan kanan dan kiri adalah ungkapan hiperbolis dalam hal menyembunyikan amalan. Keduanya dipakai sebagai permisalan karena kedekatan dan  kebersamaan kedua tangan tersebut.[6]
Contoh yang mempraktekan hadits di atas adalah ‘Ali bin Al Husain bin ‘Ali. Beliau biasa memikul karung berisi roti setiap malam hari. Beliau pun membagi roti-roti tersebut ke rumah-rumah secara sembunyi-sembunyi. Beliau mengatakan,
إِنَّ صَدَقَةَ السِّرِّ تُطْفِىءُ غَضَبَ الرَّبِّ عَزَّ وَ جَلَّ
Sesungguhnya sedekah secara sembunyi-sembunyi akan meredam kemarahan Rabb ‘azza wa jalla.” Penduduk Madinah tidak mengetahui siapa yang biasa memberi mereka makan. Tatkala ‘Ali bin Al Husain meninggal dunia, mereka sudah tidak lagi mendapatkan kiriman makanan setiap malamnya. Di punggung Ali bin Al Husain terlihat bekas hitam karena seringnya memikul karung yang dibagikan kepada orang miskin Madinah di malam hari. Subhanallah, kita mungkin sudah tidak pernah melihat makhluk semacam ini di muka bumi ini lagi.[7]
Keempat: Menyembunyikan amalan puasa sunnah.
Dalam rangka menyembunyikan amalan puasa sunnah, sebagian salaf senang berhias agar tidak nampak lemas atau lesu karena puasa. Mereka menganjurkan untuk menyisir rambut dan memakai minyak di rambut atau kulit di kala itu. Ibnu ‘Abbas mengatakan,
إِذَا كَانَ صَوْمُ أَحَدِكُمْ فَلْيُصْبِحْ دَهِينًا مُتَرَجِّلاً
“Jika salah seorang di antara kalian berpuasa, maka hendaklah ia memakai minyak-minyakan dan menyisir rambutnya.”[8]
Daud bin Abi Hindi berpuasa selama 40 tahun dan tidak ada satupun orang, termasuk keluarganya yang mengetahuinya. Ia adalah seorang penjual sutera di pasar. Di pagi hari, ia keluar ke pasar sambil membawa sarapan pagi. Dan di tengah jalan menuju pasar, ia pun menyedekahkannya. Kemudian ia pun kembali ke rumahnya pada sore hari, sekaligus berbuka dan makan malam bersama keluarganya.[9] Jadi orang-orang di pasar mengira bahwa ia telah sarapan di rumahnya. Sedangkan orang-orang yang berada di rumah mengira bahwa ia menunaikan sarapan di pasar. Masya Allah, luar biasa trik beliau dalam menyembunyikan amalan.
Begitu pula para ulama seringkali membatalkan puasa sunnahnya karena khawatir orang-orang mengetahui kalau ia puasa. Jika Ibrohim bin Ad-ham diajak makan (padahal ia sedang puasa), ia pun ikut makan dan ia tidak mengatakan, “Maaf, saya sedang puasa”.[10] Itulah para ulama, begitu semangatnya mereka dalam menyembunyikan amalan puasanya.
Kelima: Menyembunyikan bacaan Al Qur’an dan dzikir
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْجَاهِرُ بِالْقُرْآنِ كَالْجَاهِرِ بِالصَّدَقَةِ وَالْمُسِرُّ بِالْقُرْآنِ كَالْمُسِرِّ بِالصَّدَقَةِ
Orang yang mengeraskan bacaan Al Qur’an sama halnya dengan orang yang terang-terangan dalam bersedekah. Orang yang melirihkan bacaan Al Qur’an sama halnya dengan orang yang sembunyi-sembunyi dalam bersedekah.[11]
Setelah menyebutkan hadits di atas, At Tirmidzi mengatakan, “Hadits ini bermakna bahwa melirihkan bacaan Qur’an itu lebih utama daripada mengeraskannya karena sedekah secara sembunyi-sembunyi lebih utama dari sedekah yang terang-terangan sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama. Mereka memaknakan demikian agar supaya setiap orang terhindar dari ujub. Seseorang yang menyembunyikan amalan tentu saja lebih mudah terhindar dari ujub daripada orang yang terang-terangan dalam beramal.”
Yang dipraktekan oleh para ulama, mereka sampai-sampai menutupi mushafnya agar orang tidak tahu kalau mereka membaca Qur’an. Ar Robi’ bin Khutsaim selalu melakukan amalan dengan sembunyi-sembunyi. Jika ada orang yang akan menemuinya, lalu beliau sedang membaca mushaf Qur’an, ia pun akan menutupi Qur’annya dengan bajunya.[12]Begitu pula halnya dengan Ibrohim An Nakho’i. Jika ia sedang membaca Qur’an, lalu ada yang masuk menemuinya, ia pun segera menyembunyikan Qur’annya.[13] Mereka melakukan ini semua agar amalan sholihnya tidak terlihat oleh orang lain.
Keenam: Menyembunyikan tangisan
Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Tangisan itu ada sepuluh bagian. Sembilan bagian biasanya untuk selain Allah (tidak  ikhlas) dan satu bagian saja yang biasa untuk Allah. Jika ada satu tangisan saja dilakukan dalam sekali setahun (ikhlas) karena Allah, maka itu pun masih banyak.”[14]
Dalam rangka menyembunyikan tangisnya, seorang ulama sampai pura-pura mengatakan bahwa dirinya sedang pilek karena takut terjerumus dalam riya’. Itulah yang dicontohkan oleh Ayub As Sikhtiyaniy. Ia pura-pura mengusap wajahnya, lalu ia katakan, “Aku mungkin sedang pilek berat.” Tetapi sebenarnya ia tidak pilek, namun ia hanya ingin menyembunyikan tangisannya.[15]
Sampai-sampai salaf pun ada yang pura-pura tersenyum ketika ingin mengeluarkan tangisannya. Tatkala Abu As Sa-ib ingin menangis ketika mendengar bacaan Al Qur’an atau hadits, ia pun pura-pura menyembunyikan tangisannya (di hadapan orang lain) dengan sambil tersenyum.[16]
Mu’awiyah bin Qurroh mengatakan, “Tangisan dalam hati lebih baik daripada tangisan air mata.”[17]
Ketujuh: Menyembunyikan do’a
‘Uqbah bin ‘Abdul Ghofir mengatakan, “Do’a yang dilakukan sembunyi-sembunyi lebih utama 70 kali dari do’a secara terang-terangan. Jika seseorang melakukan amalan kebaikan secara terang-terangan dan melakukannya secara sembunyi-sembunyi semisal itu pula, maka Allah pun akan mengatakan pada malaikat-Nya, “Ini baru benar-benar hamba-Ku.”[18]
Amalan-amalan apa saja yang mesti disembunyikan? [19]
Para ulama ada yang menjelaskan bahwa untuk amalan sunnah –seperti sedekah sunnah dan shalat sunnah-, maka lebih utama dilakukan sembunyi-sembunyi. Melakukan seperti inilah yang lebih mendekatkan pada ikhlas dan menjauhkan dari riya’. Sedangkan amalan wajib –seperti zakat yang wajib dan shalat lima waktu-, lebih utama dengan ditampakkan.[20]
Namun kadang amalan sholih juga boleh ditampakkan jika memang ada faedah, misalnya agar memotivasi orang lain untuk beramal atau ingin memberikan pengajaran kepada orang lain.
Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Kaum muslimin sudah mengetahui bahwa amalan yang tersembunyi itu lebih baik. Akan tetapi amalan tersebut kadang boleh ditampakkan jika ada faedah.”
Yang pantas menampakkan amalan semacam ini agar bisa sebagai contoh atau uswah bagi orang lain adalah amalan para Nabi ‘alaihimus sholaatu wa salaam.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab: 21) Yang semisal dengan para Nabi yang pantas menjadi uswah (teladan) adalah para Khulafaur Rosyidin, pewaris Nabi yaitu ulama dan da’i serta setiap orang yang menjadi uswah (teladan).
Imam Al-Iz bin ‘Abdus Salam telah menjelaskan hukum menyembunyikan amalan kebajikan secara lebih terperinci. Beliau berkata, “Ketaatan  (pada Allah) ada tiga:
Pertama: Amalan yang disyariatkan untuk ditampakkan seperti adzan, iqomat, ucapan takbir ketika shalat, membaca Qur’an secara jahr dalam shalat jahriyah (Maghrib, Isya’ dan Shubuh, pen), ketika berkhutbah, amar ma’ruf nahi mungkar, mendirikan shalat jum’at dan shalat secara berjamaah, merayakan hari-hari ‘ied, jihad, mengunjungi orang-orang yang sakit, dan mengantar jenazah, maka amalan semacam ini tidak mungkin disembunyikan. Jika pelaku amalan-amalan tersebut takut berbuat riya, maka hendaknya ia berusaha keras untuk menghilangkannya hingga dia bisa ikhlas dalam beramal. Sehingga dengan demikian dia akan mendapatkan pahala amalannya dan juga pahala karena kesungguhannya menghilangkan riya’ tadi, karena amalan-amalan ini maslahatnya juga untuk orang lain.
Kedua: Amalan yang jika diamalkan secara sembunyi-sembunyi lebih utama daripada jika ditampakkan. Contohnya seperti membaca Qur’an dengan sir (lirih) dalam shalat siriyah (zhuhur dan ashar, pen), dan berdzikir dalam solat secara perlahan. Maka dengan perlahan lebih baik daripada jika dijahrkan.
Ketiga: Amalan yang terkadang disembunyikan dan terkadang ditampakkan seperti amalan sedekah. Jika dia kawatir tertimpa riya’ atau dia tahu bahwasanya biasanya kalau dia nampakan amalannya dia akan riya’, maka amalan (sedekah) tersebut disembunyikan lebih baik daripada jika ditampakkan. Karena Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ
Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu.” (QS. Al Baqarah: 271)
Adapun orang yang aman dari riya’ maka ada dua keadaan sebagai berikut.
Pertama: Dia bukanlah termasuk orang yang jadi uswah (jadi contoh), maka lebih baik dia menyembunyikan sedekahnya, karena bisa jadi dia tertimpa riya’ tatkala menampakkan amalannya.
Kedua: Dia adalah orang yang jadi uswah, maka menampakan amalan –seperti amalan sedekahnya- lebih baik karena hal itu akan membuat lebih akrab dengan orang miskin dan dia pun bisa jadi uswah bagi orang lain. Dia telah memberi manfaat kepada fakir miskin dengan sedekahnya dan dia juga bisa mendorong orang-orang kaya untuk bersedekah pada fakir miskin karena mencontohi dia, dan dia juga telah memberi manfaat pada orang-orang kaya tersebut karena mengikuti dia beramal soleh.”
Termasuk point ketiga ini adalah menjahrkan atau mensirkan bacaan surat pada shalat malam (shalat tahajud). Yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah terkadang mengeraskan bacaan dan terkadang melirihkan bacaan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah shalat ketika bersama Abu Bakr beliau memelankan suaranya dan ketika bersama Umar beliau mengeraskan suaranya. Suatu saat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan Abu Bakr untuk mengeraskan suara dan memerintahkan ‘Umar untuk melirihkan suaranya.[21]
An Nawawi mengatakan, “Terdapat berbagai hadits yang menjelaskan keutamaan mengeraskan suara ketika membaca al Qur’an dan juga terdapat hadits yang menjelaskan keutamaan melirihkan bacaan. Dari sini, para ulama menjelaskan bahwa kompromi dari hadits-hadits tersebut yaitu: melirihkan bacaan jadi lebih utama pada orang yang khawatir tertimpa riya’. Jika tidak khawatir demikian, maka bacaannya boleh dikeraskan asalkan tidak mengganggu orang lain yang sedang shalat atau tidur.”[22]
Bagaimana dengan dosa dan maksiat yang pernah dilakukan? Apakah boleh ditampakkan?
Setelah kita mengetahui dari penjelasan di atas, untuk amalan ketaatan diberi keringanan dalam beberapa kondisi untuk ditampakkan semisal untuk amalan wajib dan amalan sunnah (dalam beberapa keadaan). Sedangkan untuk maksiat sudah sepatutnya untuk disembunyikan.
Menyembunyikan dosa dan tidak menampakkan aib-aibnya pada manusia, itu malah terpuji dilihat dari beberapa sebab.
Pertama: Kita diperintahkan untuk menutup maksiat yang kita lakukan dan tidak perlu membuka kejelekan-kejelekan diri kita. Disebutkan dalam hadits,
اِجْتَنِبُوْا هَذِهِ القَاذُوْرَةَ الَّتِي نَهَى اللهُ عَنْهَا ، فَمَنْ أَلَمَّ فَلْيَسْتَتِرْ بِسَتْرِ اللهِ
Jauhilah dosa yang telah Allah larang. Siapa saja yang telah terlajur melakukan dosa  tersebut, maka tutuplah rapat-rapat dengan apa yang telah Allah tutupi.[23]
Juga jika kita tidak suka dengan maksiat, maka kita pun hendaklah tidak suka orang lain mengetahuinya atau sampai melakukan hal yang sama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Seseorang di antara kalian tidak dikatakan beriman (dengan iman yang sempurna) hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.[24] Kebalikannya (mafhumnya) adalah jika engkau tidak suka sesuatu pada dirimu, maka engkau haruslah tidak suka hal itu menimpa saudaramu. Oleh karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menafikan iman dalam hadits ini, maka menunjukkan bahwa hal tersebut wajib dilakukan[25]. Sehingga menutup dosa dan maksiat adalah wajib.
Kedua: Agar jangan sampai ‘aib tersebut terbuka dan terkoyak di hadapan orang lain. Karena jika seseorang sudah merasa takut ‘aibnya terbuka di dunia, maka niscaya ‘aib tersebut sampai di akhirat akan terus tertutup. Oleh karena itu, orang-orang sholih seringkali berdo’a: “Ya Allah, sebagaimana engkau menutupi ‘aib-‘aibku di dunia, maka janganlah buka ‘aib-‘aibku di akhirat.”
Ketiga:Agar orang lain tidak ikut-ikutan melakukan maksiat yang telah dilakukan dan agar maksiat tersebut tidak tersebar luas di muka bumi. Oleh karena itu, sudah sepantasnya ‘aib atau maksiat ditutupi sampai pula pada orang terdekat kita (misalnya kerabat dan orang tua).
Keempat: Agar kita lebih mudah mendapatkan ampunan dari Allah dan tidak termasuk orang-orang yang dicela dan tidak diterimanya taubatnya karena memamerkan maksiat yang ia lakukan.
كُلُّ أُمَّتِى مُعَافَاةٌ إِلاَّ الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنَ الإِجْهَارِ أَنْ يَعْمَلَ الْعَبْدُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ثُمَّ يُصْبِحُ قَدْ سَتَرَهُ رَبُّهُ فَيَقُولُ يَا فُلاَنُ قَدْ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ فَيَبِيتُ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ
“Setiap umatku akan diampuni kecuali orang yang melakukan jahr. Di antara bentuk melakukan jahr adalah seseorang di malam hari melakukan maksiat, namun di pagi harinya –padahal telah Allah tutupi-, ia sendiri yang bercerita, “Wahai fulan, aku semalam telah melakukan maksiat ini dan itu.” Padahal semalam Allah telah tutupi maksiat yang ia lakukan, namun di pagi harinya ia sendiri yang membuka ‘aib-‘aibnya yang telah Allah tutup.”[26]
Kelima: Agar ia termasuk orang-orang yang memiliki rasa malu. Rasa malu inilah yang akan menghalangi dirinya menampakkan maksiat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْحَيَاءُ لاَ يَأْتِى إِلاَّ بِخَيْرٍ
Rasa malu tidaklah datang kecuali membawa kebaikan.[27]
Keenam: Agar ia tidak mendapat ejekan atau celaan dari manusia. Karena celaan biasanya akan menusuk ke hati. Sedangkan hukuman had hanya akan menyakiti anggota badan.
Demikian pembahasan tanda ikhlas yang pertama.
Hanya Allah yang memberi taufik untuk berbuat ikhlas.
Semoga Allah memudahkan kita untuk membaca posting lanjutan dari pembahasan tanda ikhlas yaitu tidak mencari ketenaran dan merasa diri selalu kurang dalam beramal.

Wednesday, January 9, 2019

Sembunyikan kebaikan kebaikanmu sebagaimana engkau meyembunyikan keburukan keburukanmu

Sembunyikan amal Kebaikanmu sebagaimana engkau meyembunyikan semua keburukanya untuk meraih kesempurnaan amal ibadah agar di terima oleh allah swt berawal dari sebuah pertanyaan yang sering di temukan di kehidupan kita sehari hari
Soal:
Saya adalah orang yang sudah menikah. Ketika saya melakukan suatu amal shalih, seperti shadaqah atau membantu orang lain, saya berkeinginan memberitahukan amal itu kepada istri saya untuk mendorongnya agar melakukan amal semacam itu, apakah hal ini diperbolehkan? Ataukah dengan sikap ini justru saya dikatakan merusak pahala dan termasuk melakukan riya` (memperlihatkan amal agar dipuji)?
Jawab:
Alhamdulillah. Setiap kali amal seorang hamba dilakukan secara sembunyi-sembunyi, maka hal itu lebih dekat kepada keikhlasan dan semakin jauh dari penyakit hati berupa riya’ (memperlihatkan amal supaya dipuji), sum’ah (memperdengarkan suara dalam beramal shalih agar dipuji), dan mencari kedudukan/jabatan dan penyakit yang semisalnya.

Imam Al-Bukhari  rahimahullah di dalam kitab shahihnya berkata, “Bab: Shadaqah yang Dilakukan Secara Sembunyi-Sembunyi. Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu berkata dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam (bersabda),
وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا صَنَعَتْ يَمِينُهُ
“Dan seseorang yang bershadaqah lalu ia menyembunyikannya, hingga tangan kirinya tak mengetahui apa yang dilakukan tangan kanannya”
Dan Firman Allah :
إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ ۖ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ
Jika kalian menampakkan sedekah(kalian), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kalian menyembunyikannya dan kalian berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagi kalian” (Al-Baqarah : 271).
Ath -Thabarani meriwayatkan dalam “Al-Kabir (1018) ”, dari Bahz bin Hakim dari bapaknya dari kakeknya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إن صدقة السر تطفئ غضب الرب
“Sesungguhnya shadaqah  yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi memadamkan murka Ar-Rabb (Allah)” (Syaikh Al-Albani menshahihkan Hadits ini dalam “Ash-Shahihah 1908”).
Imam At-Tirmidzi (2919) meriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Amir radiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda”,
الْجَاهِرُ بِالْقُرْآنِ كَالْجَاهِرِ بِالصَّدَقَةِ ، وَالْمُسِرُّ بِالْقُرْآنِ كَالْمُسِرِّ بِالصَّدَقَةِ
“Orang yang membaca Al-Qur`an dengan suara keras seperti orang yang menampakkan shadaqah, dan orang yang membaca Al-Qur`an dengan suara pelan seperti orang yang bershadaqoh secara sembunyi-sembunyi ”.
Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Bani dalam Shahih At-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata,
Makna Hadits ini adalah orang yang memelankan suara dalam membaca Al-Qur`an lebih utama daripada orang yang mengeraskan suara dalam membaca Al-Qur`an karena shadaqah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi lebih utama dari shadaqah yang dilakukan secara terang-terangan, demikian kesimpulan Ulama.”
Ulama menjelaskan maksud hal itu adalah agar seseorang yang melakukan amal shalih aman dari penyakit ‘ujub (membanggakan amal) karena orang yang menyembunyikan amal tidak terlalu khawatir terhadap serangan ‘ujub, beda jika ia menampakannya, ketika itu penyakit tersebut lebih dikhawatirkan menyerangnya. Namun, selama ada maslahat syar’i dalam menampakkan amal shalih, seperti agar dicontoh oleh orang lain dan mendorong mereka untuk melakukan kebaikan, serta bersih dari riya` dan mencari popularitas, maka tidak mengapa dikeraskan/dinampakkan (amal shalih tersebut).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata,  “Firman Allah,
إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ ۖ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ
”Jika kalian menampakkan sedekah(kalian), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kalian menyembunyikannya dan kalian berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagi kalian” (Al-Baqarah : 271).
Di dalam ayat ini terdapat petunjuk bahwa menyembunyikan shadaqah lebih utama daripada menampakkannya, karena lebih jauh dari riya` kecuali jika ada maslahat yang kuat, yaitu orang-orang mengikutinya,maka menampakannya lebih utama jika ditinjau dari sudut pandang ini dan hukum asalnya adalah menyembunyikan lebih utama,berdasarkan Ayat ini (Tafsir Ibnu Katsir 1/701).
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam kitab Al-Fath 11/337 :
Terkadang disunnahkan menampakkannya -yaitu amal shalih- bagi orang yang menjadi panutan. Jika tujuannya untuk ditiru dan hal itu diukur sesuai dengan kebutuhan. Ibnu ‘Abdis Salam berkata, ‘Dikecualikan dari hukum sunnahnya menyembunyikan amal adalah bagi orang yang menampakkannya dengan niat agar dicontoh atau agar bisa diambil manfaatnya, seperti penulisan masalah ilmiyyah. Ath-Thabari, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud dan sekelompok Salafush Shalih berkata, ‘shalat malam di masjid-masjid mereka dan menampakkan amal shalih mereka dengan niat agar dicontoh.’ Beliau berkata, ‘Barangsiapa menjadi imam (pemimpin) yang perbuatannya menjadi tauladan, iapun mengetahui hak Allah atas dirinya, dan mampu menaklukkan syetannya, maka bagi dia, sama kedudukannya antara amal yang ditampakkan dengan yang disembunyikan karena kebaikan niatnya. Adapun bagi orang yang bertipe kebalikannya, maka menyembunyikan amal lebih utama baginya. Atas prinsip inilah Salafush Shalih melakukan amal shalih”.
Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah berkata, “Di dalam menyembunyikan amal shalih ada faidah keikhlasan dan selamat dari riya`, dan di dalam menampakkannya ada faidah menjadi suri tauladan dan penyemangat manusia untuk berbuat baik, akan tetapi terancam serangan riya`, dan Allah memuji kedua sikap ini, Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman,
إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ ۖ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ
”Jika kalian menampakkan sedekah (kalian), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kalian menyembunyikannya dan kalian berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagi kalian” (Al-Baqarah : 271).
Namun Dia memuji sikap menyembunyikan amal karena bisa selamat dari perusak amal yang besar tersebut, sedangkan sedikit orang yang bisa selamat darinya. Terkadang sikap menampakkan amal adalah sesuatu yang terpuji, ketika memang tidak bisa disembunyikan, seperti jihad, haji, shalat jum’at, dan shalat jama’ah. Maka bentuk menampakkan amal-amal tersebut adalah dengan bersegera melakukannya dan menampakkan keinginan melakukannya dengan tujuan menyemangati (orang lain) dengan syarat tidak terkotori kotoran riya`.
Kesimpulan, selama suatu amal shalih itu bersih dari kotoran-kotoran tersebut dan menampakkanya tidak sampai mengganggu orang lain, serta memang mendorong manusia untuk mencontoh dan mengikuti perbuatan yang baik tersebut hingga mereka pun bersegera melakukannya –dan hal ini disebabkan karena kedudukan pelakunya adalah sebagai ulama atau orang-orang yang shalih yang mampu menggerakkan mereka untuk mencontohnya-, maka sikap menampakkan amal ketika itu adalah sesuatu yang lebih utama karena hal itu merupakan kedudukan para Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ulama pewaris mereka, sedangkan tidaklah mereka dikhususkan kecuali dengan sesuatu yang paling sempurna, dan karena juga manfaatnya meluas untuk orang lain, serta berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ يَعْمَلُ بِهَا إلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang memulai mengamalkan suatu amal shalih dan manusia mencontohnya,maka dia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sampai hari Kiamat. Jika tidak terpenuhi syarat tersebut di atas,maka sikap menyembunyikan amal itu lebih utama” (Az-Zawajir : 1/118).
Berkata Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah,
“Termasuk kesempurnaan ikhlas adalah seseorang bersemangat agar tidak ada orang yang melihat ibadahnya dan agar ibadahnya kepada Rabbnya tidak diketahui manusia, kecuali jika menampakkannya ada kemaslahatan bagi kaum muslimin atau bagi Islam, seperti jika seseorang itu statusnya sebagai pemimpin yang diikuti dan ia ingin menunjukkan ibadahnya kepada manusia agar mereka mengambilnya sebagai contoh bagaimana melakukan ibadah tersebut, atau ia menampakkan ibadah dengan tujuan ingin dicontoh oleh teman, pengiring, dan sahabat-sahabatnya, maka dalam hal ini ada kebaikan. Maslahat-maslahat yang memang layak untuk dipilih tersebut, terkadang lebih utama dan lebih tinggi dari maslahat menyembunyikan amal, oleh karena itulah Allah ‘Azza Wa Jalla memuji orang-orang yang berinfak dengan sembunyi-sembunyi dan terang-terangan juga.
Jika memang sembunyi-sembunyi itu lebih maslahat, lebih bermanfaat bagi hati, dan lebih khusyu’ serta  lebih bisa kembali kepada Allah, maka mereka menyembunyikannya, sedangkan jika menampakkan amal ada maslahatnya bagi Islam dalam bentuk nampak semarak syariat-Nya (diterapkan) dan bagi kaum muslimin bisa mencontohnya, maka mereka akan menampakannya. Seorang mukmin hendaklah melihat apa yang paling bermanfaat (baginya), kapan saja sesuatu itu lebih bermaslahat dan lebih bermanfaat pengaruhnya dalam peribadatan, maka hal itu lebih sempurna dan lebih utama” (Majmu’ Fatawa dan Risalah Ibnul ‘Utsaimin : 3/165).
Dan berdasarkan hal inilah ,maka tidak mengapa Anda memberitahu istri Anda tentang sebagian amal shalih Anda, hingga Anda bisa mendorongnya untuk mencontoh Anda dan bersungguh-sungguhlah dalam mengikhlaskan amal untuk Allah Ta’ala saja dan membersihkannya dari riya`Wallahu a’lam

Monday, January 7, 2019

KISAH TIGA ORANG YANG MASUK NERAKA


Dikisahkan akan ada tiga orang ahli ibadah yang akan masuk neraka karenakan amalanya yang di perbuatnya sewaktu di dunia.....

yang pertama di hisab adalah seorang yang jihad yang mati syahid di tanya dalam pengadilan akhirat hai manusia apa amalanmu? Aku mati syahid jihad di jalan allah,lalu dia di perlihatkan dan di datangkan kenikmatan kenikmatan yang allah berikan sewaktu di dunia, mujahid itupun mengakuinya lalu ditanya lagi Amal apa yang kamu lakukan dengan nikmat nikmat tersebut?  "Aku berjuang di jalan allah karenamu ya allah jadi aku mati syahid" Allah berfirman Engkau Dusta! Kamu hanya ingin di sebut gagah dan berperang hanya karena manusia bukan karena allah memang demikian yang kamu setujui mengenai dirimu! lalu di panggilah malaikat seret dia dan Lemparkan masuk keNeraka! dia berjuang bukan karena allah dia berjuang hanya ingin di sebut gagah oleh manusia dan ingin di puji oleh manusia pahala yang di dapatpun putus hanya sebatas dunia saja...Masukan ke Neraka... 
Lalu berikutnya seorang ahli penuntut ilmu dan ahli ibadah dan mengamalkanya serta suka membaca alquran lalu didatangkan dan di perlihatkan semua kenikmatan yang telah di peroleh semasa hidup didunia lalu dia menyambut dan mengakuinya, hai manusia amal apa yang kamu lakukan dengan semua kenikmatan itu? Aku menuntut ilmu dan mengajarkanya dan selalu membaca alquran dan membawa bawanya, Allah berfirman kamu dusta! Engkau meminta ilmu karena ingin di sebut alim oleh manusia dan ingin mendapat pujian dari manusia dan mengajarkanya hanya karena uang bukan karena allah dan meminta membaca alquran hanya ingin menjadi qari yang baik suaranya karena hanya ingin dapat pujian dari manusia dan banyak hafalanmu juga karena ingin mendapat pujian dari manusia saja begitulah yang di berikan atas dirimu jadi amalanmu cukup hanya sampai di dunia saja, hai malaikat seret dan masukan ke neraka! 
Lalu yang ketiga adalah orang yang dermawan yang di beri kelapangan rizki oleh allah di dunia lalu di datangkan dan diperlihatkan semua kenikmatan kenikmatan yang di peroleh semasa hidup di dunia dan dia menerima dan mengakuinya,  hai manusia apa yang kamu lakukan dengan semua kenikmatan yang aku berikan Dia menjawab: 'Aku tidak pernah meninggalkan shadaqah dan infaq pada jalan yang Engkau cintai, pasti aku melakukannya dengan cuma-cuma karena Engkau ya allah.' Allah berfirman: 'Engkau dusta! Engkau  lakukan semuanya hanya karena pujian dari manusia dan berharap bertambah hartamu supaya bisa memberi orang lain dan mengharap pujian dari manusia  dan memang begitulah yang disampaikan (tentang dirimu). ' Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeretnya ke atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka. 
Cerita tersebut menginpirasi kita untuk melakukan semua ibadah atau amal apapun harus berniat iklas untuk allah bukan untuk mendapatkan pujian dari mahluknya allah karena kalau hanya sebatas pujian dan dunia amalanyapun hanya sebatas dunia saja di akhirat terputus karena keiklasanya bukan karena allah tapi karena dunia sehingga akherat bukan surga yang di dapat malah neraka yang di dapat cerita tersebut di sadur dari cerita hadis rasul
عن أبي هريرة قال z: سمعت رسول الله يقول: إن اول الناس يقضى يوم القيامة عليه رجل استشهد فأتي به فعرفه نعمه فعرفعها, قال: فما عملت فيها? قال: قاتلت فيك حتى استشهدت قال: كذبت ولكنك قاتلت لأن يقال جريء, فقد قيل, ثم أمر به فسحب على وجهه حتى القي في النار, ورجل تعلم العلم وعلمه وقرأ القرآن فأتي به فعرفه نعمه فعرفعها, قال: فما عملت فيها? قال: تعلمت العلم وعلمته وقرأت فيك القرآن, قال: كذبت, ولكنك تعلمت العلم ليقال: عالم وقرأت القرآن ليقال هو قارىء, فقد قيل, ثم أمر به فسحب على وجهه حتى القي في النار, ورجل وسع الله عليه واعطاه من اصناف المال كله فأتي به فعرفه نعمه فعرفها, قال: فما عملت فيها? قال: ماتركت من سبيل تحب أن ينفق فيها إلا أنفقت فيها لك, قال: كذبت, ولكنك فعلت ليقال هو جواد فقد قيل, ثم أمر به فسحب على وجهه ثم ألقي في النار. رواه مسلم (1905) وغيره
Dari Abi Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu' alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Dia didatangkan dan diperlihatkan kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengakuinyainya. Allah bertanya tanya: 'Amal apakah yang mau dilakukan dengan nikmat-nikmat itu?' Ia menjawab: 'Aku berjuang hanya karena Engkau jadi aku mati syahid.' Allah berfirman: 'Engkau dusta! Engkau berjuang menerima yang gagah berjuang. Memang demikianlah yang telah disetujui (tentang dirimu). ' Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang atas mukanya (tertelungkup), lalu dilemparkan ke dalam neraka. Dibagikan orang (yang diadili) adalah yang menuntut ilmu dan meminta serta membaca al-Qur'an. Ia didatangkan dan diperlihatkan sebagai kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun menyambutnya. Kemudian Allah bertanyanya: 'Amal apakah yang telah dilakukan dengan kesenangan-kenikmatan itu?' Ia menjawab: 'Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya, begitu pula aku membaca al Qurʻan karena harus dibawa.' Allah berfirman: 'Engkau dusta! Engkau meminta ilmu agar diterima sebagai 'alim (yang berilmu) dan membaca al Qur'an meminta tolong (sebagai) seorang qari' (pembaca al Qurʻan yang baik). Memang begitulah yang diberikan (tentang dirimu). ' Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret atas mukanya dan dibuang ke dalam neraka. Dibagikan (yang diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam barang benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan sebagai kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengaku menerimainya (mengakuinya). Allah bertanya: 'Apa yang diminta telah dilakukan dengan nikmat-nikmat itu?' Dia menjawab: 'Aku tidak pernah meninggalkan shadaqah dan infaq pada jalan yang Engkau cintai, pasti aku melakukannya dengan cuma-cuma karena Engkau.' Allah berfirman: 'Engkau dusta! Engkau berbicara yang dengan demikian mengeluarkan sebuah dermawan (memang murah hati) dan memang begitulah yang disampaikan (tentang dirimu). ' Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeretnya ke atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka. '”
TAKHRIJ HADITS 
Hadits ini diriwayatkan oleh: 
1. Muslim, Kitabul Imarah, bab Man Qaatala lir Riya 'adalah Sum'ah Istahaqqannar (VI / 47) atau (III / 1513-1514 no. 1905). 
2. An Nasa-i, Kitabul Jihad bab Man Qaatala liyuqala: Fulan Jari ', Sunan Nasa-i (VI / 23-24), Ahmad dalam Musnad-nya (II / 322) dan Baihaqi (IX / 168).
Hadits ini dishahihkan oleh al Hakim dan dipindahkan oleh adz Dzahabi (I / 418-419), Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dalam tahqiq Musnad Imam Ahmad, no. 8260 dan Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani dalam Shahih di Targhib wat Tarhib (I / 114 no. 22) serta dalam Shahih An Nasa-i (II / 658 no. 2940).
Hadits yang ditafsirkan dengan sendirinya oleh Imam di Tirmidzi dalam Sunan-nya, Kitab Az Zuhud, bab Ma Ja'a fir Riya 'adalah Sum'ah, no. 2382; Tuhfatul Ahwadzi (VII / 54 no. 2489); Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya, no. 2482 dan Ibnu Hibban no. 2502 -Mawariduzh Zham'an- dan al Hakim (I / 418-419).
Para perawi hadits ini tsiqah (terpercaya), kecuali Al Walid bin Abil Walid Abu Utsman. Dikatakan oleh al Hafizh, itulah dia layyinul hadits (lemah haditsnya) di dalam Taqribut Tahdzib 2/290 tahqiq Musthafa Abdul Qadir 'Atha'. Perkataan ini keliru, karena Al Walid bin Abdil Walid termasuk perawi Imam Muslim dan dimasukkan tsiqah oleh Abu Zur'ah Ar Razi. (Lihat Al Jarhu wat Ta'dil oleh Abu Hatim Ar Razi, juz IX hlm. 19-20).
Di Tirmidzi mengatakan tentang hadits ini: "Hasan gharib". Sementara Imam al Hakim mengatakan: "Shahihul isnad" dan diterjemahkan oleh Imam adz Dzahabi dalam Mustadrak al Hakim (I / 419). Lihat ta'liq Shahih Ibnu Khuzaimah (IV / 115).
Tatkala Mu'awiyah Radhiyallahu 'anhu mendengar hadits ini, dia berkata: "Hukuman ini telah berlaku atas mereka, bagaimana dengan orang-orang yang akan datang?" Kemudian dia mendengar terisak-isak hingga pingsan. Setelah siuman, ia mengusap mukanya seraya berkata: Benarlah Allah dan RasulNya, Allah berfirman:
“Barangsiapa menghendaki dunia dan perhiasannya, niscaya Kami memberikan kepada mereka, menerima pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak dapat diterima di akhirat. Lenyaplah di akhirat apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan ”. [Hud: 15-16]. [HR Tirmidzi no. 2382 dan Ibnu Khuzaimah no. 2482].
PENJELASAN HADITS 
Nilai amal di sisi Allah ditentukan dengan ikhlas karena Allah dan sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah n, bukan dengan banyak dan kontribusi. Allah berfirman:
“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini hanyalah manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku yang benar Rabb kamu itu adalah Allah yang Esa. Barangsiapa mengharap perjumpaaan dengan Rabbnya, maka memintalah ia mengerjakan amal yang shalih dan jangan mempersekutukan pun dalam beribadah kepada Rabb-nya ”. [al Kahfi: 110].
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: "Inilah dua landasan amal yang diterima, ikhlas karena Allah dan sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam". [1]
Hadits di atas menjelaskan tentang tiga golongan manusia yang dimasukkan ke dalam neraka dan tidak mendapat penolong selain Allah l. Mereka membawa amal yang besar, tetapi mereka melakukan karena riya ', ingin mendapatkan pujian dan sanjungan. Pelaku riya ', pada hari yang dibuka dan disibak semua hati, dibuka diseret sampai masuk ke dalam neraka. Nas-alullaha as-Salaamah wal 'Afiyah. Tiga golongan tersebut adalah:
Golongan Pertama: Yaitu kaum yang dianugerahi Allah kesehatan dan kekuatan. Kewajiban mereka adalah mencurahkan segalanya untuk Allah dan jalan Allah dalam rangka mensyukuri nikmat-nikmatNya. Namun sayang, setan telah membuat mereka mencurahkannya di luar jalan ini. Mereka memang pergi ke medan jihad dan berperang, tetapi tujuan mereka disebut pemberani. Kepada merekalah Allah mengawali pengadilanNya pada hari Kiamat. Lalu Allah mengundang nikmat-nikmatNya yang telah dianugerahkan kepada mereka, seraya bertanya: "Apa yang kamu kerjakan dengan nikat-nikmat itu?" Pada saat Allah membuka rahasia hati mereka seraya berfirman: “Kamu pendusta! Sesungguhnya kamu berperang (berjihad) hanya diperbolehkan disetujui pemberani (pahlawan). ”Mereka tidak mampu membantah, karena memang demikianlah yang didukung.
Golongan Kedua: Yaitu kaum yang dimuliakan Allah dengan memberi kesempatan untuk menuntut ilmu dan memintanya kepada manusia. Mereka mampu membaca al-Qur'an dan mempelajarinya. Seharusnya, dengan ilmu ini mereka berniat karena Allah semata sebagai manifestasi rasa syukur kepadaNya atas limpahan rahmatNya. Namun sayang, tujuan yang semestinya karena Allah, telah dipalingkan dan didukung oleh setan, sehingga mereka melakukan riya '(pamer) dengan ilmu yang ada di hadapan manusia, agar mendapat pujian, kedudukan, harta dan jabatan. Mereka tidak menyadari, bahwa Allah selalu melihat dan mengetahui apa yang mereka lakukan. Allah mengetahui rahasia yang tersembunyi di hati mereka. Ternyata, mereka belajar, mengajar dan membaca al Qur'an diizinkan mendapat sebagai alim, pintar atau yang semisal itu. Sementara membaca Al-Qur'an membaca qari 'atau qari'ah, orang yang bagus dan indah bacaannya. Maka pada hari Kiamat nanti, tidak ada yang mereka peroleh sebelum meminta “pendusta”. Mereka hanya terdiam kehilangan kehinaan, kerugian dan penuh penyesalan. Kemudian Allah menyuruh malaikat agar menyeret dan mencampakkan mereka ke dalam neraka. Wal 'iyadzu billah.
Golongan Ketiga: Yaitu kaum yang diberi kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Mereka adalah golongan yang mampu, kaya dan berduit. Kewajiban mereka semestinya bersyukur kepada Allah dengan ikhlas karena Allah semata. Namun sayang, mereka shadaqah, infaq, memberikan uang dan mendermakan uang yang didapat menjadi terkenal dan mendapat dermawan, karim yang berhasil memenangkan orang yang khair (baik). Sementara apa yang mereka katakan di hadapan Allah, mereka berinfaq, bershadaqah karena Allah adalah dusta belaka. Sungguh telah disetujui yang demikian, dan mereka tidak bisa membantah. Allah mengetahui hati dan tujuan mereka. Kemudian mereka diperintahkan untuk diseret dari mukanya dan dicampakkan ke dalam neraka, dan mereka tidak mendapatkan penolong pun selain Allah Subhanahu wa Ta'ala. [2]
Imam Nawawi mengatakan rahimahullah, sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang orang yang berperang, orang alim dan dermawan serta siksa Allah atas mereka, mereka terkait mereka membantu demikian untuk Allah. Dan memasukkan mereka ke dalam neraka untuk menunjukkan betapa haramnya riya 'dan keras siksaannya, serta pembayaran ikhlas dalam seluruh amal. Allah berfirman: 
 
“Tidaklah mereka diperintahkan untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama dengan lurus” [al Bayyinah: 5]
Keumuman hadits-hadits tentang keutamaan jihad, diperuntukkan bagi orang yang melakukannya karena Allah dengan ikhlas. Demikian pula pujian terhadap ulama dan orang yang berinfaq di setiap sektor kebaikan, semua itu terjadi dengan persyaratan yang dilakukan demikian itu hanyalah mata-mata karena Allah Ta'ala. [3]
Demikianlah siksa dan tantangan bagi orang yang melakukan riya 'dalam melakukan kebaikan. Mereka berdoa dengan tujuan mengharap pujian dan sanjungan dari manusia. Islam lebih memperhatikan faktor niat (pendorong) suatu amal dari amal itu sendiri, sementara kedua-duanya mendapat perhatian.
Secara lengkap, sudah diketahui, diskusi yang dilakukan seseorang terhadap orang lain merupakan perbuatan hina dan dosa yang buruk. Jika mendorong itu dilakukan melawan Islam, maka lakukan itu lebih baik, lebih buruk dan tercela. Perbuatan itu merupakan perbuatan orang yang suka berpura-pura dan bertindak untuk menarik perhatian manusia. Ia mengundang di hadapan mereka seakan-akan ia hanya menghendaki Allah saja. Padahal ia adalah seorang penipu dan pendusta, maka tidak heran jika Allah menghinakannya dengan memasukkan ke dalam api neraka.
Dalam tulisan ini akan dibahas tentang resolusi riya ', sebab-sebab, macamnya, bahayanya dan beberapa hal yang tidak termasuk riya' serta obat penyakit riya '. Mudah-berbicara tulisan ini bermanfaat untuk penulis dan pembaca sekalian.
DEFINISI RIYA ' 
Secara lughah (bahasa), riya' الرِّيَاءُ adalah mashdar dari kata: رَاءَى - يُرَاءِى - رِءَاءً وَ رِيَاءًا (رَاءَاهُ) مُرَاءَاةً
Perkataan: 
أَرَاهُ أَنَّهُ مُتَّصِفٌ بِالْخَيْرِ وَ الصَّلاَحِ عَلَى خِلاَفِ مَا هُوَ عَلَيْهِ
Berarti: “Ia memenangkan bahwasanya ia orang baik, padahal memenangkan tidak demikian. Artinya, apa yang tampak berbeda dengan apa yang sebenarnya dipertanyakan ”. [4]
Sementara istilah syar'i, para ulama berbeda pendapat dalam memberikan resolusi riya '. Tapi intinya sama, yaitu
أن يقوم العبد بالعبادة التي يتقرب بها لله لا يريد الله عز و جل بل يريد عرضا دنيويا
“Seorang melakukan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah, tetapi ia melakukan bukan karena Allah memberikan karena tujuan dunia”. [5]
Al Qurthubi mengatakan:
حَقِيْقَةُ الرِّيَاءِ طَلَبُ مَا فِيْ الدُّنْيَا بِالْعِبَادَةِ ، وَ أَصْلُهُ طَلَبُ الْمَنْزِلَََََََُُّّّّّ
(Hakikat riya 'mencari apa yang ada di dunia dengan ibadah dan pada asalnya mencari posisi tempat di hati manusia). [6]
Jadi riya 'adalah melakukan ibadah untuk mencari perhatian manusia sehingga mereka memuji pelakunya dan ia mengharap pengagungan dan memuji serta penghormatan dari orang yang diundang. [7]
PERBEDAAN RIYA 'DAN SUM'AH 
Imam Bukhari di dalam Shahih-nya membuat bab Ar Riya' adalah Sum'ah dengan membawakan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللهُ بِهِ. وَمَنْ يُرَائِيْ يُرَائِي اللهُ بِهِ
"Barangsiapa memperdengarkan (menyiarkan) amalnya, maka Allah akan menyiarkan aibnya, dan barangsiapa beramal karena riya ', maka Allah akan membuka niatnya (di orang orang terpilih pada hari Kiamat)". [HR Bukhari no. 6499 dan Muslim no. 2987 dari sahabat Jundub bin Abdillah].
Perbedaan riya 'dan sum'ah adalah, riya' berarti beramal karena diperlihatkan kepada orang lain. Sementara sum'ah adalah, beramal diminta untuk orang lain. Riya 'membahas dengan indera mata, sedangkan sum'ah membahas dengan indera telinga. [8]
PERBEDAAN ANTARA RIYA 'DAN' UJUB 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H) mengatakan: “Seringkali orang mengubah antara riya 'dan' ujub. Sementara riya 'merupakan perbuatan syirik kepada Allah karena peran, sedangkan' ujub adalah syirik kepada Allah karena nafsu ”. [9]
Imam Nawawi rahimahullah (wafat th. 676 H) mengatakan: “Ketahuilah, itulah keikhlasan yang dimaksud dihalangi oleh penyakit 'ujub. Barangsiapa yang disetujui 'ujub (mengagumi) amalnya sendiri, maka akan terhapus amalnya. Demikian juga orang yang sombong ”. [10]
'Ujub, menurut bahasa arti kekaguman, kesombongan atau kebanggaan. Yaitu seorang yang bangga dengan pendapatnya. Orang yang bertanggung jawab 'ujub adalah orang yang tertipu dengan dirinya, ibadahnya dan ketaatannya. Ia tidak membawa makna إِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (hanya kepadaMu ya Allah, kami mohon pertolongan). Sementara orang yang berlaku riya 'tidak melakukan makna إِيَّاكَ نَعْبُدُ (hanya untuk Engkau ya Allah, kami beribadah).
Jika seseorang sudah mencapai makna ِيَّاكَ نَعْبُدُ وَ إِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ, maka akan hilang darinya penyakit riya 'dan' ujub. [11]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Ulasan dari::
"Tiga perkara yang membinasakan, yaitu hawa nafsu yang dituruti, kebakhilan (kikir) yang ditaati dan kebanggaan seseorang terhadap dirinya". [HR Abu Syaikh dan Thabrani di Mu'jam Ausath. Lihat Shahih Jami'ush Shaghiir no. 3039 dan Silsilah Ahaadits ash-Shahiihah no. 1802]
SEBAB-SEBAB RIYA ' 
sebab-sebab yang menjerumuskan manusia ke lembah riya' ada beberapa hal. Pokok pangkal riya adalah kecintaan pada pangkat dan kedudukan. Jika hal ini dirinci, maka dapat disetujui untuk tiga sebab pokok, yaitu: Pertama. Senang menikmati pujian dan sanjungan. Kedua Menghindari atau takut celaan manusia. Ketiga. Tamak (sangat menginginkan) terhadap apa yang ada pada orang lain.
Hal ini dipertanyakan dengan edisi di dalam ash Shahihain, dari hadits Abu Musa al-'Asyari Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Ada laki-laki” datang ke Rasulullah Shallallahu' alaihi wa sallam seraya berkata:
الرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلْمَغْنَمِ ، وَ الرَّجُلُ يُقاَتِلُ لِيُذْكَرَ ، َ َ َّ َّ َ َّ َّ َ ُ ُ ِ ُ ُ ُ ُ ِ ِ ِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ: مَنْ قَاتَلَ لِتَكُوْنَ كَلِمَةُ اللهِ أَعْلَى ، فَهُوَ فِيْ سَبِيْلِ الله
“Ada seseorang berperang karena rasa fanatisme, berperang dengan gagah berjuang dan berperang dengan riya '; Bagaimana menjawab bahwa itu adalah jalan Allah? ”Dia menjawab:“ Barangsiapa yang berperang dengan tujuan agar kalimat Allah yang paling tinggi, maka menemukan fi sabilillah ”. [HR Bukhari no. 2810 dan Muslim no. 1904 dan selainnya].
Makna perkataan orang itu “berperang dengan gagah menang”, yaitu agar dipanggil disebut-sebut dan dipuji. Makna perkataan "berperang dengan fanatisme (golongan)", yaitu ia tidak mau dikalahkan atau dihina. Makna perkataan "berperang dengan riya '", yaitu agar kedudukannya diketahui orang lain, dan hal ini merupakan kesenangan pangkat dan kedudukan di hati manusia.
Boleh jadi seseorang tidak tertarik terhadap pujian, tetapi ia takut terhadap hinaan. Seperti seorang penakut di antara para pemberani. Dia berusaha menguatkan hati untuk tidak menantang diri sendiri agar tidak dihina dan dicela. Ada yang memberi fatwa tanpa ilmu karena menghindari celaan Tiga hal yang menggerakkan riya 'dan sebagai penyebabnya. [12]
MACAM-MACAM RIYA ' 
1. Riya' yang dikirim dari badan, seperti yang ditambahkan dari tubuh yang seimbang dan pucat agar tampak telah berhasil diselesaikan di beribadah dan takut pada akhirat. Atau memutihkan rambut yang acak-acakkan (kusut) agar dianggap terlalu sibuk dalam kaitannya dengan agama sehingga merapikan rambutnya pun tidak layak., Atau dengan membalikkan suara yang parau, mata cekung (sayu) dan bibir kering agar dapat terus-menerus berpuasa. Riya 'semacam ini sering dilakukan oleh para ahli ibadah. Karena orang-orang sibuk dengan urusan dunia, maka riya 'mereka dengan badan yang gemuk, penampilan yang bersih, wajah yang ganteng dan rambut yang kelimis.
2. Riya 'yang diambil dari pakaian dan gaya, seperti menundukkan kepala berjalan, sengaja menggunakan sujud di wajah, memakai pakaian tebal, memakai kain wol, menggulung baju lengan dan memendekkannya serta secara sengaja memakai lusuh (agar dapat dicari ahli ibadah). Atau dengan mengenakan pakaian tambalan, berwarna biru, diganti orang-orang thariqat shufiyyah padahal batinnya kosong (dari keikhlasan). Atau pakai tutup kepala di atas sorban
Orang-orang yang melakukan riya 'dalam hal ini, ada beberapa tingkatan. Di antara mereka ada yang mengharap kedudukan di antara orang-orang baik dengan menampakkan kezuhudan dengan pakaian yang lusuh. Salafush Shalih, jika ia memutuskan sederhana, tetapi ia tidak suka karena ia takut akan dikomentari sebagai "biasanya ia menampakkan kezuhudan, tetapi rupanya sudah berubah dari jalan itu". Sementara riya 'para pemuja dunia dengan pakaian mahal, kendaraan bagus dan perabot rumah mewah.
3. Riya 'dengan perkataan, seperti dalam hal memberi nasihat, persetujuan, menghapal kisah-keberhasilan disetujui dan atsar dengan maksud untuk menantang atau meningkatkan ilmunya dan memperhatikannya terhadap keadaan para salaf. Atau dengan menggerakkan bibir dengan dzikir di hadapan orang banyak, mengundang amarah saat kemungkaran di hadapan orang banyak, membaca al Qur'an dengan suara singkat dan memperindahnya untuk menunjukkan rasa takut dan kesedihan, atau yang suka itu. Wallahu a'lam. Sementara riya 'para pemuja dunia adalah dengan menghapalkan syair-syair atau pepatah dan berpura-pura fasih dalam perkataan.
4. Riya 'dengan melakukan, seperti riya' yang dilakukan orang yang shalat dengan memanjangkan bacaan saat berdiri, memanjangkan ruku 'dan sujud atau menampakkan kekhusyuan atau yang lainnya. Begitu pula dalam hal puasa, haji, shadaqah dan lain-lain. Sementara riya 'para pemuja dunia dilengkapi dengan berjalan penuh dan gaya, angkuh, congkak, menggerakkan-gerakkan tangan, berjalan perlahan-lahan, menjulurkan ujung pakaian; semuanya.
5. Riya 'dengan teman atau orang-orang yang diundang, seperti orang yang diundang yang diundang oleh ulama atau ahli ibadah ke rumah, agar diminta “si fulan telah mengunjungi ulama dan banyak ulama yang sering datang ke rumah”. Ada juga orang yang menerapkan riya 'dengan banyak syaikh atau gurunya, agar orang berkomentar tentang dirinya “dia telah bertemu dengan sekian banyak syaikh dan menimba ilmu dari mereka”. Dia melakukannya seperti itu untuk berhasil. Begitulah yang biasa dilakukan orang-orang yang berlaku riya 'untuk mencari ketenaran, kehormatan dan kedudukan di hati manusia. [13]
Kita memohon keselamatan kepada Allah dari semua jenis riya 'ini. Ya Allah. Janganlah Engkau sesatkan hati kami setelah Engkau memberi petunjuk kepada kami, dan jauhkanlah diri kami dan amal kami dari riya '. Amin
CIRI-CIRI DAN TANDA-TANDA RIYA ' 
Riya ' memiliki ciri dan tanda-tanda yang mengacu pada kata Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu, orang lain yang terkait dengan riya' memiliki tiga ciri, yaitu: dia menjadi pemalas pakaian, dia menjadi giat di tengah-tengah orang banyak, dia menambah kegiatan jika dipuji dan mengurangi jika diejek. [14]
Tanda yang paling jelas adalah yang menyenangkan jika ada orang yang melihat ketaatannya. Andaikan orang tidak diundang, dia tidak senang. Dari sini diketahui, itulah riya 'itu tersembunyi di dalam hati, seperti api yang tersembunyi di dalam batu. Jika orang menarik, maka menariklah. Dan kesenangan ini bergerak dengan gerakan yang sangat halus, lalu menantangnya untuk menampakkan amalnya. Agar berhasil, agar itu berhasil, baik sindirian atau terang-terangan. [15]
Diriwayatkan Abu Umamah al Bahili pernah datangi seseorang yang sedang bersujud di masjid sambil menangis kompilasi. Kemudian Abu Umamah mengatakan, “Apakah harus melakukan ini jika kamu shalat di rumahmu?” (Teguran membantu untuk menghilangkan sikap riya '). [16]
JEBAKAN DAN PERINGATAN 
Terkadang, seorang hamba bersungguh-sungguh untuk membersihkan diri dari riya ', namun ia mengalami kesulitan dan tergelincir di dalamnya, sehingga ia meninggalkan amal karena takut riya'.
Jika seorang hamba meninggalkan amal yang baik dengan maksud terhindar dari riya ', maka tidak ragu lagi, itu artinya sikap ini adalah sikap yang salah dalam menghadapi riya'.
Fudhail bin Iyadh menjelaskan, meninggalkan amal karena manusia adalah riya ', sedangkan beramal karena manusia adalah syirik. Ikhlas itu adalah Allah yang menyelamatkan kita dari semua.
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan: “Perkataan Fudhail karena orang yang menerima amal karena manusia adalah riya ', sebab ia melakukannya karena manusia. Ketika pergi meninggalkan amal, ingin membuka di saat sepi atau pergi, maka diizinkan dan ini sunnah, dikeluarkan dalam perkara yang wajib, seperti shalat wajib lima waktu atau zakat, atau ia juga alim yang menjadi panutan dalam ibadah, lalu menampakkannya sebagai afdhal (utama) [17]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, "Barangsiapa melakukan amal rutin yang disyariatkan, seperti shalat Dhuha, qiyamul lail (shalat tahajud), lalu pilihlah dia yang bisa digunakan dan tidak seyogyanya, ia minta agar bisa dibicarakan di tempat-tempat lain. Hanya Allah-lah yang memahami rahasia keselamatan, itulah yang dilaksanakannya karena Allah dan ia bersungguh-sungguh berhasil selamat dari riya 'dan dari hal-hal yang merusak keikhlasan, ”kemudian ia membawakan perkataan Fudhail bin Iyadh seperti di atas.
Selanjutnya dia mengatakan, barangsiapa memuat sesuatu yang disyariatkan hanya berdasarkan anggapan hal itu adalah riya ', maka larangannya tertolak berdasarkan beberapa alasan sebagai berikut:
1. Amal yang disyariatkan tidak boleh ditolak hanya karena takut riya '. Lebih diperintahkan untuk tetap dilakukan dengan ikhlas. Jika kita melihat seseorang yang melakukan amal yang disyariatkan, kita harus mengatur dia melakukannya, kendatipun kita dapat mengatur ia melakukan dengan riya '. Seperti memilih orang-orang munafik yang Allah berfirman tentang mereka:
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu melepaskan Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Jika mereka berdiri shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bertemu riya '(dengan shalat) di hadapan manusia. Dan biasakanlah mereka memanggil Allah kecuali sedikit sekali ”. [an Nisaa`: 142].
Mereka (orang-orang munafik) shalat bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dia Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya membiarkan amal yang mereka tampakkan, sedangkan mereka berbicara itu dengan riya' dan tidak melakukan perbuatan zhahir mereka. (Membantah, para sahabat tidak melarang mereka shalat bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Pen). Hal itu, karena kerusakan meninggalkan syariat yang mesti ditampakkan jauh lebih berbahaya daripada menampakkan amal tersebut dengan riya '. Lebih baik tinggalkan iman dan shalat lima kali lebih banyak bahayanya, lebih dari meninggalkan amal itu dengan riya '.
2. Pengingkaran hanya terjadi pada apa yang diingkari oleh syariat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
… إِنِّيْ لَمْ أُوْمَرْ ، أَنَقِّبَ عَلَى قُلُوْبِ النَّاسِ ، وَلاَ أَشُقَّ بُطُوْنَهُمْ…
“Sesungguhnya aku tidak diperintah untuk membaca (membaca) hati mereka dan tidak pula untuk membedah perut mereka”. [HR Bukhari no. 4351, Muslim no. 1064 (144) dan Ahmad (III / 4-5) dari Abu Said al Khudri Radhiyallahu 'anhu].
Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu mengatakan: “Barangsiapa menampakkan kebaikan, kami akan menyukai kebaikan yang berbeda dengan itu. Dan orang yang menampakkan kejelekannya, kami akan membencinya meskipun ia mengakui itu baik ”.
3. Sesungguh-sungguh mengizinkan pengingkaran terhadap hal seperti itu, sebaliknya akan membuka peluang bagi ahlus syirk wal fasad (orang yang meminta syirik dan merusak) untuk mengingkari ahlul khair wad diin (orang yang berusaha dengan baik). Ketika mereka melihat orang melakukan perkara yang disyariatkan dan disunnahkan, mereka berkata “orang ini telah meminta riya”. Lalu karena menerima ini, orang yang jujur ​​dan ikhlas akan meninggalkan perkara-perkara yang disyariatkan karena takut ejekan, celaan dan mengakuisisi mereka. Lantas terbengkalailah kebaikan (amal-amal khair) dan tidak terlaksana. Kemudian, hal itu akan menjadi senjata bagi orang-orang yang melakukan syirik untuk tetap dan terus melakukan kegiatan mereka, dan tidak ada pun yang mengingkari. Hal ini merupakan kerusakan yang paling besar.
4. Sesungguhnya hal seperti ini merupakan syi'ar (semboyan) orang yang munafik. Mereka selalu mencela orang yang menampakkan amal yang disyariatkan. Allah berfirman:
“(Orang-orang munafik) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi shadaqah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) sesuai dengan kesanggupannya, maka orang-orang munafik harus menghina Allah. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka adzab yang pedih ”. [at Taubah: 79]
Insya Allah bersambung ……
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09 / Tahun IX / 1426H / 2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016] 
________ 
Catatan kaki 
[1]. Tafsir Ibnu Katsir (III / 120-121), Cet. Maktabah Daarus Salaam. 
[2]. Taujihat Nabawiyah 'ala Thariq, karya Dr. Sayyid Muhammad Nuh, Darul Wafa'. 
[3]. Syarah Muslim (XIII / 50-51). 
[4]. Mu'jamul Wasith (I / 320). 
[5] Al Ikhlas, oleh Dr. Umar Sulaiman al Asyqar, hlm. 94, Cet. Daarun Nafa-is, Th. 1415 H. 
[6]. Tafsir al Qurthubi (XX / 144), Cet. Daarul Kutub al Ilmiyyah, Th. 1420 H. 
[7]. Fathul Bari (XI / 336). 
[8]. Ibid (XI / 336) dan Al Ikhlas, hlm. 95, Dr. Umar Sulaiman al Asyqar.
[9]. Majmu 'Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (X / 227). 
[10]. Syarah Arbain, hlm. 5. 
[11]. Al Ikhlas, hlm. 97, Dr. Umar Sulaiman al Asyqar. 
[12] Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 284, Ibnu Qudamah al Maqdisi, tahqiq Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. 
[13] Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 275-278, Ibnu Qudamah al Maqdisi, tahqiq Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid; Ar Riya 'wa Atsaruhu Sebagai Sayi' fil Ummah, hlm. 17-20. 
[14]. Al Kabair, Imam adz Dzahabi hlm. 212, tahqiq Abu Khalid Al-Husain bin Muhammad As Sa'idi, Cet. Darul Fikr. 
[15] Mukhtashar Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah al Maqdisi, hlm. 280. 
[16]. Al Kabair, Imam adz Dzahabi, hlm. 211. 
[17]. Syarah Arbain, Imam Nawawi, hlm. 6.
[18] Majmu 'Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (23 / 174-175).