Monday, January 7, 2019

KISAH TIGA ORANG YANG MASUK NERAKA


Dikisahkan akan ada tiga orang ahli ibadah yang akan masuk neraka karenakan amalanya yang di perbuatnya sewaktu di dunia.....

yang pertama di hisab adalah seorang yang jihad yang mati syahid di tanya dalam pengadilan akhirat hai manusia apa amalanmu? Aku mati syahid jihad di jalan allah,lalu dia di perlihatkan dan di datangkan kenikmatan kenikmatan yang allah berikan sewaktu di dunia, mujahid itupun mengakuinya lalu ditanya lagi Amal apa yang kamu lakukan dengan nikmat nikmat tersebut?  "Aku berjuang di jalan allah karenamu ya allah jadi aku mati syahid" Allah berfirman Engkau Dusta! Kamu hanya ingin di sebut gagah dan berperang hanya karena manusia bukan karena allah memang demikian yang kamu setujui mengenai dirimu! lalu di panggilah malaikat seret dia dan Lemparkan masuk keNeraka! dia berjuang bukan karena allah dia berjuang hanya ingin di sebut gagah oleh manusia dan ingin di puji oleh manusia pahala yang di dapatpun putus hanya sebatas dunia saja...Masukan ke Neraka... 
Lalu berikutnya seorang ahli penuntut ilmu dan ahli ibadah dan mengamalkanya serta suka membaca alquran lalu didatangkan dan di perlihatkan semua kenikmatan yang telah di peroleh semasa hidup didunia lalu dia menyambut dan mengakuinya, hai manusia amal apa yang kamu lakukan dengan semua kenikmatan itu? Aku menuntut ilmu dan mengajarkanya dan selalu membaca alquran dan membawa bawanya, Allah berfirman kamu dusta! Engkau meminta ilmu karena ingin di sebut alim oleh manusia dan ingin mendapat pujian dari manusia dan mengajarkanya hanya karena uang bukan karena allah dan meminta membaca alquran hanya ingin menjadi qari yang baik suaranya karena hanya ingin dapat pujian dari manusia dan banyak hafalanmu juga karena ingin mendapat pujian dari manusia saja begitulah yang di berikan atas dirimu jadi amalanmu cukup hanya sampai di dunia saja, hai malaikat seret dan masukan ke neraka! 
Lalu yang ketiga adalah orang yang dermawan yang di beri kelapangan rizki oleh allah di dunia lalu di datangkan dan diperlihatkan semua kenikmatan kenikmatan yang di peroleh semasa hidup di dunia dan dia menerima dan mengakuinya,  hai manusia apa yang kamu lakukan dengan semua kenikmatan yang aku berikan Dia menjawab: 'Aku tidak pernah meninggalkan shadaqah dan infaq pada jalan yang Engkau cintai, pasti aku melakukannya dengan cuma-cuma karena Engkau ya allah.' Allah berfirman: 'Engkau dusta! Engkau  lakukan semuanya hanya karena pujian dari manusia dan berharap bertambah hartamu supaya bisa memberi orang lain dan mengharap pujian dari manusia  dan memang begitulah yang disampaikan (tentang dirimu). ' Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeretnya ke atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka. 
Cerita tersebut menginpirasi kita untuk melakukan semua ibadah atau amal apapun harus berniat iklas untuk allah bukan untuk mendapatkan pujian dari mahluknya allah karena kalau hanya sebatas pujian dan dunia amalanyapun hanya sebatas dunia saja di akhirat terputus karena keiklasanya bukan karena allah tapi karena dunia sehingga akherat bukan surga yang di dapat malah neraka yang di dapat cerita tersebut di sadur dari cerita hadis rasul
عن أبي هريرة قال z: سمعت رسول الله يقول: إن اول الناس يقضى يوم القيامة عليه رجل استشهد فأتي به فعرفه نعمه فعرفعها, قال: فما عملت فيها? قال: قاتلت فيك حتى استشهدت قال: كذبت ولكنك قاتلت لأن يقال جريء, فقد قيل, ثم أمر به فسحب على وجهه حتى القي في النار, ورجل تعلم العلم وعلمه وقرأ القرآن فأتي به فعرفه نعمه فعرفعها, قال: فما عملت فيها? قال: تعلمت العلم وعلمته وقرأت فيك القرآن, قال: كذبت, ولكنك تعلمت العلم ليقال: عالم وقرأت القرآن ليقال هو قارىء, فقد قيل, ثم أمر به فسحب على وجهه حتى القي في النار, ورجل وسع الله عليه واعطاه من اصناف المال كله فأتي به فعرفه نعمه فعرفها, قال: فما عملت فيها? قال: ماتركت من سبيل تحب أن ينفق فيها إلا أنفقت فيها لك, قال: كذبت, ولكنك فعلت ليقال هو جواد فقد قيل, ثم أمر به فسحب على وجهه ثم ألقي في النار. رواه مسلم (1905) وغيره
Dari Abi Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu' alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Dia didatangkan dan diperlihatkan kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengakuinyainya. Allah bertanya tanya: 'Amal apakah yang mau dilakukan dengan nikmat-nikmat itu?' Ia menjawab: 'Aku berjuang hanya karena Engkau jadi aku mati syahid.' Allah berfirman: 'Engkau dusta! Engkau berjuang menerima yang gagah berjuang. Memang demikianlah yang telah disetujui (tentang dirimu). ' Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang atas mukanya (tertelungkup), lalu dilemparkan ke dalam neraka. Dibagikan orang (yang diadili) adalah yang menuntut ilmu dan meminta serta membaca al-Qur'an. Ia didatangkan dan diperlihatkan sebagai kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun menyambutnya. Kemudian Allah bertanyanya: 'Amal apakah yang telah dilakukan dengan kesenangan-kenikmatan itu?' Ia menjawab: 'Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya, begitu pula aku membaca al Qurʻan karena harus dibawa.' Allah berfirman: 'Engkau dusta! Engkau meminta ilmu agar diterima sebagai 'alim (yang berilmu) dan membaca al Qur'an meminta tolong (sebagai) seorang qari' (pembaca al Qurʻan yang baik). Memang begitulah yang diberikan (tentang dirimu). ' Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret atas mukanya dan dibuang ke dalam neraka. Dibagikan (yang diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam barang benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan sebagai kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengaku menerimainya (mengakuinya). Allah bertanya: 'Apa yang diminta telah dilakukan dengan nikmat-nikmat itu?' Dia menjawab: 'Aku tidak pernah meninggalkan shadaqah dan infaq pada jalan yang Engkau cintai, pasti aku melakukannya dengan cuma-cuma karena Engkau.' Allah berfirman: 'Engkau dusta! Engkau berbicara yang dengan demikian mengeluarkan sebuah dermawan (memang murah hati) dan memang begitulah yang disampaikan (tentang dirimu). ' Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeretnya ke atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka. '”
TAKHRIJ HADITS 
Hadits ini diriwayatkan oleh: 
1. Muslim, Kitabul Imarah, bab Man Qaatala lir Riya 'adalah Sum'ah Istahaqqannar (VI / 47) atau (III / 1513-1514 no. 1905). 
2. An Nasa-i, Kitabul Jihad bab Man Qaatala liyuqala: Fulan Jari ', Sunan Nasa-i (VI / 23-24), Ahmad dalam Musnad-nya (II / 322) dan Baihaqi (IX / 168).
Hadits ini dishahihkan oleh al Hakim dan dipindahkan oleh adz Dzahabi (I / 418-419), Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dalam tahqiq Musnad Imam Ahmad, no. 8260 dan Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani dalam Shahih di Targhib wat Tarhib (I / 114 no. 22) serta dalam Shahih An Nasa-i (II / 658 no. 2940).
Hadits yang ditafsirkan dengan sendirinya oleh Imam di Tirmidzi dalam Sunan-nya, Kitab Az Zuhud, bab Ma Ja'a fir Riya 'adalah Sum'ah, no. 2382; Tuhfatul Ahwadzi (VII / 54 no. 2489); Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya, no. 2482 dan Ibnu Hibban no. 2502 -Mawariduzh Zham'an- dan al Hakim (I / 418-419).
Para perawi hadits ini tsiqah (terpercaya), kecuali Al Walid bin Abil Walid Abu Utsman. Dikatakan oleh al Hafizh, itulah dia layyinul hadits (lemah haditsnya) di dalam Taqribut Tahdzib 2/290 tahqiq Musthafa Abdul Qadir 'Atha'. Perkataan ini keliru, karena Al Walid bin Abdil Walid termasuk perawi Imam Muslim dan dimasukkan tsiqah oleh Abu Zur'ah Ar Razi. (Lihat Al Jarhu wat Ta'dil oleh Abu Hatim Ar Razi, juz IX hlm. 19-20).
Di Tirmidzi mengatakan tentang hadits ini: "Hasan gharib". Sementara Imam al Hakim mengatakan: "Shahihul isnad" dan diterjemahkan oleh Imam adz Dzahabi dalam Mustadrak al Hakim (I / 419). Lihat ta'liq Shahih Ibnu Khuzaimah (IV / 115).
Tatkala Mu'awiyah Radhiyallahu 'anhu mendengar hadits ini, dia berkata: "Hukuman ini telah berlaku atas mereka, bagaimana dengan orang-orang yang akan datang?" Kemudian dia mendengar terisak-isak hingga pingsan. Setelah siuman, ia mengusap mukanya seraya berkata: Benarlah Allah dan RasulNya, Allah berfirman:
“Barangsiapa menghendaki dunia dan perhiasannya, niscaya Kami memberikan kepada mereka, menerima pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak dapat diterima di akhirat. Lenyaplah di akhirat apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan ”. [Hud: 15-16]. [HR Tirmidzi no. 2382 dan Ibnu Khuzaimah no. 2482].
PENJELASAN HADITS 
Nilai amal di sisi Allah ditentukan dengan ikhlas karena Allah dan sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah n, bukan dengan banyak dan kontribusi. Allah berfirman:
“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini hanyalah manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku yang benar Rabb kamu itu adalah Allah yang Esa. Barangsiapa mengharap perjumpaaan dengan Rabbnya, maka memintalah ia mengerjakan amal yang shalih dan jangan mempersekutukan pun dalam beribadah kepada Rabb-nya ”. [al Kahfi: 110].
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: "Inilah dua landasan amal yang diterima, ikhlas karena Allah dan sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam". [1]
Hadits di atas menjelaskan tentang tiga golongan manusia yang dimasukkan ke dalam neraka dan tidak mendapat penolong selain Allah l. Mereka membawa amal yang besar, tetapi mereka melakukan karena riya ', ingin mendapatkan pujian dan sanjungan. Pelaku riya ', pada hari yang dibuka dan disibak semua hati, dibuka diseret sampai masuk ke dalam neraka. Nas-alullaha as-Salaamah wal 'Afiyah. Tiga golongan tersebut adalah:
Golongan Pertama: Yaitu kaum yang dianugerahi Allah kesehatan dan kekuatan. Kewajiban mereka adalah mencurahkan segalanya untuk Allah dan jalan Allah dalam rangka mensyukuri nikmat-nikmatNya. Namun sayang, setan telah membuat mereka mencurahkannya di luar jalan ini. Mereka memang pergi ke medan jihad dan berperang, tetapi tujuan mereka disebut pemberani. Kepada merekalah Allah mengawali pengadilanNya pada hari Kiamat. Lalu Allah mengundang nikmat-nikmatNya yang telah dianugerahkan kepada mereka, seraya bertanya: "Apa yang kamu kerjakan dengan nikat-nikmat itu?" Pada saat Allah membuka rahasia hati mereka seraya berfirman: “Kamu pendusta! Sesungguhnya kamu berperang (berjihad) hanya diperbolehkan disetujui pemberani (pahlawan). ”Mereka tidak mampu membantah, karena memang demikianlah yang didukung.
Golongan Kedua: Yaitu kaum yang dimuliakan Allah dengan memberi kesempatan untuk menuntut ilmu dan memintanya kepada manusia. Mereka mampu membaca al-Qur'an dan mempelajarinya. Seharusnya, dengan ilmu ini mereka berniat karena Allah semata sebagai manifestasi rasa syukur kepadaNya atas limpahan rahmatNya. Namun sayang, tujuan yang semestinya karena Allah, telah dipalingkan dan didukung oleh setan, sehingga mereka melakukan riya '(pamer) dengan ilmu yang ada di hadapan manusia, agar mendapat pujian, kedudukan, harta dan jabatan. Mereka tidak menyadari, bahwa Allah selalu melihat dan mengetahui apa yang mereka lakukan. Allah mengetahui rahasia yang tersembunyi di hati mereka. Ternyata, mereka belajar, mengajar dan membaca al Qur'an diizinkan mendapat sebagai alim, pintar atau yang semisal itu. Sementara membaca Al-Qur'an membaca qari 'atau qari'ah, orang yang bagus dan indah bacaannya. Maka pada hari Kiamat nanti, tidak ada yang mereka peroleh sebelum meminta “pendusta”. Mereka hanya terdiam kehilangan kehinaan, kerugian dan penuh penyesalan. Kemudian Allah menyuruh malaikat agar menyeret dan mencampakkan mereka ke dalam neraka. Wal 'iyadzu billah.
Golongan Ketiga: Yaitu kaum yang diberi kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Mereka adalah golongan yang mampu, kaya dan berduit. Kewajiban mereka semestinya bersyukur kepada Allah dengan ikhlas karena Allah semata. Namun sayang, mereka shadaqah, infaq, memberikan uang dan mendermakan uang yang didapat menjadi terkenal dan mendapat dermawan, karim yang berhasil memenangkan orang yang khair (baik). Sementara apa yang mereka katakan di hadapan Allah, mereka berinfaq, bershadaqah karena Allah adalah dusta belaka. Sungguh telah disetujui yang demikian, dan mereka tidak bisa membantah. Allah mengetahui hati dan tujuan mereka. Kemudian mereka diperintahkan untuk diseret dari mukanya dan dicampakkan ke dalam neraka, dan mereka tidak mendapatkan penolong pun selain Allah Subhanahu wa Ta'ala. [2]
Imam Nawawi mengatakan rahimahullah, sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang orang yang berperang, orang alim dan dermawan serta siksa Allah atas mereka, mereka terkait mereka membantu demikian untuk Allah. Dan memasukkan mereka ke dalam neraka untuk menunjukkan betapa haramnya riya 'dan keras siksaannya, serta pembayaran ikhlas dalam seluruh amal. Allah berfirman: 
 
“Tidaklah mereka diperintahkan untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama dengan lurus” [al Bayyinah: 5]
Keumuman hadits-hadits tentang keutamaan jihad, diperuntukkan bagi orang yang melakukannya karena Allah dengan ikhlas. Demikian pula pujian terhadap ulama dan orang yang berinfaq di setiap sektor kebaikan, semua itu terjadi dengan persyaratan yang dilakukan demikian itu hanyalah mata-mata karena Allah Ta'ala. [3]
Demikianlah siksa dan tantangan bagi orang yang melakukan riya 'dalam melakukan kebaikan. Mereka berdoa dengan tujuan mengharap pujian dan sanjungan dari manusia. Islam lebih memperhatikan faktor niat (pendorong) suatu amal dari amal itu sendiri, sementara kedua-duanya mendapat perhatian.
Secara lengkap, sudah diketahui, diskusi yang dilakukan seseorang terhadap orang lain merupakan perbuatan hina dan dosa yang buruk. Jika mendorong itu dilakukan melawan Islam, maka lakukan itu lebih baik, lebih buruk dan tercela. Perbuatan itu merupakan perbuatan orang yang suka berpura-pura dan bertindak untuk menarik perhatian manusia. Ia mengundang di hadapan mereka seakan-akan ia hanya menghendaki Allah saja. Padahal ia adalah seorang penipu dan pendusta, maka tidak heran jika Allah menghinakannya dengan memasukkan ke dalam api neraka.
Dalam tulisan ini akan dibahas tentang resolusi riya ', sebab-sebab, macamnya, bahayanya dan beberapa hal yang tidak termasuk riya' serta obat penyakit riya '. Mudah-berbicara tulisan ini bermanfaat untuk penulis dan pembaca sekalian.
DEFINISI RIYA ' 
Secara lughah (bahasa), riya' الرِّيَاءُ adalah mashdar dari kata: رَاءَى - يُرَاءِى - رِءَاءً وَ رِيَاءًا (رَاءَاهُ) مُرَاءَاةً
Perkataan: 
أَرَاهُ أَنَّهُ مُتَّصِفٌ بِالْخَيْرِ وَ الصَّلاَحِ عَلَى خِلاَفِ مَا هُوَ عَلَيْهِ
Berarti: “Ia memenangkan bahwasanya ia orang baik, padahal memenangkan tidak demikian. Artinya, apa yang tampak berbeda dengan apa yang sebenarnya dipertanyakan ”. [4]
Sementara istilah syar'i, para ulama berbeda pendapat dalam memberikan resolusi riya '. Tapi intinya sama, yaitu
أن يقوم العبد بالعبادة التي يتقرب بها لله لا يريد الله عز و جل بل يريد عرضا دنيويا
“Seorang melakukan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah, tetapi ia melakukan bukan karena Allah memberikan karena tujuan dunia”. [5]
Al Qurthubi mengatakan:
حَقِيْقَةُ الرِّيَاءِ طَلَبُ مَا فِيْ الدُّنْيَا بِالْعِبَادَةِ ، وَ أَصْلُهُ طَلَبُ الْمَنْزِلَََََََُُّّّّّ
(Hakikat riya 'mencari apa yang ada di dunia dengan ibadah dan pada asalnya mencari posisi tempat di hati manusia). [6]
Jadi riya 'adalah melakukan ibadah untuk mencari perhatian manusia sehingga mereka memuji pelakunya dan ia mengharap pengagungan dan memuji serta penghormatan dari orang yang diundang. [7]
PERBEDAAN RIYA 'DAN SUM'AH 
Imam Bukhari di dalam Shahih-nya membuat bab Ar Riya' adalah Sum'ah dengan membawakan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللهُ بِهِ. وَمَنْ يُرَائِيْ يُرَائِي اللهُ بِهِ
"Barangsiapa memperdengarkan (menyiarkan) amalnya, maka Allah akan menyiarkan aibnya, dan barangsiapa beramal karena riya ', maka Allah akan membuka niatnya (di orang orang terpilih pada hari Kiamat)". [HR Bukhari no. 6499 dan Muslim no. 2987 dari sahabat Jundub bin Abdillah].
Perbedaan riya 'dan sum'ah adalah, riya' berarti beramal karena diperlihatkan kepada orang lain. Sementara sum'ah adalah, beramal diminta untuk orang lain. Riya 'membahas dengan indera mata, sedangkan sum'ah membahas dengan indera telinga. [8]
PERBEDAAN ANTARA RIYA 'DAN' UJUB 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H) mengatakan: “Seringkali orang mengubah antara riya 'dan' ujub. Sementara riya 'merupakan perbuatan syirik kepada Allah karena peran, sedangkan' ujub adalah syirik kepada Allah karena nafsu ”. [9]
Imam Nawawi rahimahullah (wafat th. 676 H) mengatakan: “Ketahuilah, itulah keikhlasan yang dimaksud dihalangi oleh penyakit 'ujub. Barangsiapa yang disetujui 'ujub (mengagumi) amalnya sendiri, maka akan terhapus amalnya. Demikian juga orang yang sombong ”. [10]
'Ujub, menurut bahasa arti kekaguman, kesombongan atau kebanggaan. Yaitu seorang yang bangga dengan pendapatnya. Orang yang bertanggung jawab 'ujub adalah orang yang tertipu dengan dirinya, ibadahnya dan ketaatannya. Ia tidak membawa makna إِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (hanya kepadaMu ya Allah, kami mohon pertolongan). Sementara orang yang berlaku riya 'tidak melakukan makna إِيَّاكَ نَعْبُدُ (hanya untuk Engkau ya Allah, kami beribadah).
Jika seseorang sudah mencapai makna ِيَّاكَ نَعْبُدُ وَ إِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ, maka akan hilang darinya penyakit riya 'dan' ujub. [11]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Ulasan dari::
"Tiga perkara yang membinasakan, yaitu hawa nafsu yang dituruti, kebakhilan (kikir) yang ditaati dan kebanggaan seseorang terhadap dirinya". [HR Abu Syaikh dan Thabrani di Mu'jam Ausath. Lihat Shahih Jami'ush Shaghiir no. 3039 dan Silsilah Ahaadits ash-Shahiihah no. 1802]
SEBAB-SEBAB RIYA ' 
sebab-sebab yang menjerumuskan manusia ke lembah riya' ada beberapa hal. Pokok pangkal riya adalah kecintaan pada pangkat dan kedudukan. Jika hal ini dirinci, maka dapat disetujui untuk tiga sebab pokok, yaitu: Pertama. Senang menikmati pujian dan sanjungan. Kedua Menghindari atau takut celaan manusia. Ketiga. Tamak (sangat menginginkan) terhadap apa yang ada pada orang lain.
Hal ini dipertanyakan dengan edisi di dalam ash Shahihain, dari hadits Abu Musa al-'Asyari Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Ada laki-laki” datang ke Rasulullah Shallallahu' alaihi wa sallam seraya berkata:
الرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلْمَغْنَمِ ، وَ الرَّجُلُ يُقاَتِلُ لِيُذْكَرَ ، َ َ َّ َّ َ َّ َّ َ ُ ُ ِ ُ ُ ُ ُ ِ ِ ِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ: مَنْ قَاتَلَ لِتَكُوْنَ كَلِمَةُ اللهِ أَعْلَى ، فَهُوَ فِيْ سَبِيْلِ الله
“Ada seseorang berperang karena rasa fanatisme, berperang dengan gagah berjuang dan berperang dengan riya '; Bagaimana menjawab bahwa itu adalah jalan Allah? ”Dia menjawab:“ Barangsiapa yang berperang dengan tujuan agar kalimat Allah yang paling tinggi, maka menemukan fi sabilillah ”. [HR Bukhari no. 2810 dan Muslim no. 1904 dan selainnya].
Makna perkataan orang itu “berperang dengan gagah menang”, yaitu agar dipanggil disebut-sebut dan dipuji. Makna perkataan "berperang dengan fanatisme (golongan)", yaitu ia tidak mau dikalahkan atau dihina. Makna perkataan "berperang dengan riya '", yaitu agar kedudukannya diketahui orang lain, dan hal ini merupakan kesenangan pangkat dan kedudukan di hati manusia.
Boleh jadi seseorang tidak tertarik terhadap pujian, tetapi ia takut terhadap hinaan. Seperti seorang penakut di antara para pemberani. Dia berusaha menguatkan hati untuk tidak menantang diri sendiri agar tidak dihina dan dicela. Ada yang memberi fatwa tanpa ilmu karena menghindari celaan Tiga hal yang menggerakkan riya 'dan sebagai penyebabnya. [12]
MACAM-MACAM RIYA ' 
1. Riya' yang dikirim dari badan, seperti yang ditambahkan dari tubuh yang seimbang dan pucat agar tampak telah berhasil diselesaikan di beribadah dan takut pada akhirat. Atau memutihkan rambut yang acak-acakkan (kusut) agar dianggap terlalu sibuk dalam kaitannya dengan agama sehingga merapikan rambutnya pun tidak layak., Atau dengan membalikkan suara yang parau, mata cekung (sayu) dan bibir kering agar dapat terus-menerus berpuasa. Riya 'semacam ini sering dilakukan oleh para ahli ibadah. Karena orang-orang sibuk dengan urusan dunia, maka riya 'mereka dengan badan yang gemuk, penampilan yang bersih, wajah yang ganteng dan rambut yang kelimis.
2. Riya 'yang diambil dari pakaian dan gaya, seperti menundukkan kepala berjalan, sengaja menggunakan sujud di wajah, memakai pakaian tebal, memakai kain wol, menggulung baju lengan dan memendekkannya serta secara sengaja memakai lusuh (agar dapat dicari ahli ibadah). Atau dengan mengenakan pakaian tambalan, berwarna biru, diganti orang-orang thariqat shufiyyah padahal batinnya kosong (dari keikhlasan). Atau pakai tutup kepala di atas sorban
Orang-orang yang melakukan riya 'dalam hal ini, ada beberapa tingkatan. Di antara mereka ada yang mengharap kedudukan di antara orang-orang baik dengan menampakkan kezuhudan dengan pakaian yang lusuh. Salafush Shalih, jika ia memutuskan sederhana, tetapi ia tidak suka karena ia takut akan dikomentari sebagai "biasanya ia menampakkan kezuhudan, tetapi rupanya sudah berubah dari jalan itu". Sementara riya 'para pemuja dunia dengan pakaian mahal, kendaraan bagus dan perabot rumah mewah.
3. Riya 'dengan perkataan, seperti dalam hal memberi nasihat, persetujuan, menghapal kisah-keberhasilan disetujui dan atsar dengan maksud untuk menantang atau meningkatkan ilmunya dan memperhatikannya terhadap keadaan para salaf. Atau dengan menggerakkan bibir dengan dzikir di hadapan orang banyak, mengundang amarah saat kemungkaran di hadapan orang banyak, membaca al Qur'an dengan suara singkat dan memperindahnya untuk menunjukkan rasa takut dan kesedihan, atau yang suka itu. Wallahu a'lam. Sementara riya 'para pemuja dunia adalah dengan menghapalkan syair-syair atau pepatah dan berpura-pura fasih dalam perkataan.
4. Riya 'dengan melakukan, seperti riya' yang dilakukan orang yang shalat dengan memanjangkan bacaan saat berdiri, memanjangkan ruku 'dan sujud atau menampakkan kekhusyuan atau yang lainnya. Begitu pula dalam hal puasa, haji, shadaqah dan lain-lain. Sementara riya 'para pemuja dunia dilengkapi dengan berjalan penuh dan gaya, angkuh, congkak, menggerakkan-gerakkan tangan, berjalan perlahan-lahan, menjulurkan ujung pakaian; semuanya.
5. Riya 'dengan teman atau orang-orang yang diundang, seperti orang yang diundang yang diundang oleh ulama atau ahli ibadah ke rumah, agar diminta “si fulan telah mengunjungi ulama dan banyak ulama yang sering datang ke rumah”. Ada juga orang yang menerapkan riya 'dengan banyak syaikh atau gurunya, agar orang berkomentar tentang dirinya “dia telah bertemu dengan sekian banyak syaikh dan menimba ilmu dari mereka”. Dia melakukannya seperti itu untuk berhasil. Begitulah yang biasa dilakukan orang-orang yang berlaku riya 'untuk mencari ketenaran, kehormatan dan kedudukan di hati manusia. [13]
Kita memohon keselamatan kepada Allah dari semua jenis riya 'ini. Ya Allah. Janganlah Engkau sesatkan hati kami setelah Engkau memberi petunjuk kepada kami, dan jauhkanlah diri kami dan amal kami dari riya '. Amin
CIRI-CIRI DAN TANDA-TANDA RIYA ' 
Riya ' memiliki ciri dan tanda-tanda yang mengacu pada kata Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu, orang lain yang terkait dengan riya' memiliki tiga ciri, yaitu: dia menjadi pemalas pakaian, dia menjadi giat di tengah-tengah orang banyak, dia menambah kegiatan jika dipuji dan mengurangi jika diejek. [14]
Tanda yang paling jelas adalah yang menyenangkan jika ada orang yang melihat ketaatannya. Andaikan orang tidak diundang, dia tidak senang. Dari sini diketahui, itulah riya 'itu tersembunyi di dalam hati, seperti api yang tersembunyi di dalam batu. Jika orang menarik, maka menariklah. Dan kesenangan ini bergerak dengan gerakan yang sangat halus, lalu menantangnya untuk menampakkan amalnya. Agar berhasil, agar itu berhasil, baik sindirian atau terang-terangan. [15]
Diriwayatkan Abu Umamah al Bahili pernah datangi seseorang yang sedang bersujud di masjid sambil menangis kompilasi. Kemudian Abu Umamah mengatakan, “Apakah harus melakukan ini jika kamu shalat di rumahmu?” (Teguran membantu untuk menghilangkan sikap riya '). [16]
JEBAKAN DAN PERINGATAN 
Terkadang, seorang hamba bersungguh-sungguh untuk membersihkan diri dari riya ', namun ia mengalami kesulitan dan tergelincir di dalamnya, sehingga ia meninggalkan amal karena takut riya'.
Jika seorang hamba meninggalkan amal yang baik dengan maksud terhindar dari riya ', maka tidak ragu lagi, itu artinya sikap ini adalah sikap yang salah dalam menghadapi riya'.
Fudhail bin Iyadh menjelaskan, meninggalkan amal karena manusia adalah riya ', sedangkan beramal karena manusia adalah syirik. Ikhlas itu adalah Allah yang menyelamatkan kita dari semua.
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan: “Perkataan Fudhail karena orang yang menerima amal karena manusia adalah riya ', sebab ia melakukannya karena manusia. Ketika pergi meninggalkan amal, ingin membuka di saat sepi atau pergi, maka diizinkan dan ini sunnah, dikeluarkan dalam perkara yang wajib, seperti shalat wajib lima waktu atau zakat, atau ia juga alim yang menjadi panutan dalam ibadah, lalu menampakkannya sebagai afdhal (utama) [17]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, "Barangsiapa melakukan amal rutin yang disyariatkan, seperti shalat Dhuha, qiyamul lail (shalat tahajud), lalu pilihlah dia yang bisa digunakan dan tidak seyogyanya, ia minta agar bisa dibicarakan di tempat-tempat lain. Hanya Allah-lah yang memahami rahasia keselamatan, itulah yang dilaksanakannya karena Allah dan ia bersungguh-sungguh berhasil selamat dari riya 'dan dari hal-hal yang merusak keikhlasan, ”kemudian ia membawakan perkataan Fudhail bin Iyadh seperti di atas.
Selanjutnya dia mengatakan, barangsiapa memuat sesuatu yang disyariatkan hanya berdasarkan anggapan hal itu adalah riya ', maka larangannya tertolak berdasarkan beberapa alasan sebagai berikut:
1. Amal yang disyariatkan tidak boleh ditolak hanya karena takut riya '. Lebih diperintahkan untuk tetap dilakukan dengan ikhlas. Jika kita melihat seseorang yang melakukan amal yang disyariatkan, kita harus mengatur dia melakukannya, kendatipun kita dapat mengatur ia melakukan dengan riya '. Seperti memilih orang-orang munafik yang Allah berfirman tentang mereka:
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu melepaskan Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Jika mereka berdiri shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bertemu riya '(dengan shalat) di hadapan manusia. Dan biasakanlah mereka memanggil Allah kecuali sedikit sekali ”. [an Nisaa`: 142].
Mereka (orang-orang munafik) shalat bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dia Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya membiarkan amal yang mereka tampakkan, sedangkan mereka berbicara itu dengan riya' dan tidak melakukan perbuatan zhahir mereka. (Membantah, para sahabat tidak melarang mereka shalat bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Pen). Hal itu, karena kerusakan meninggalkan syariat yang mesti ditampakkan jauh lebih berbahaya daripada menampakkan amal tersebut dengan riya '. Lebih baik tinggalkan iman dan shalat lima kali lebih banyak bahayanya, lebih dari meninggalkan amal itu dengan riya '.
2. Pengingkaran hanya terjadi pada apa yang diingkari oleh syariat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
… إِنِّيْ لَمْ أُوْمَرْ ، أَنَقِّبَ عَلَى قُلُوْبِ النَّاسِ ، وَلاَ أَشُقَّ بُطُوْنَهُمْ…
“Sesungguhnya aku tidak diperintah untuk membaca (membaca) hati mereka dan tidak pula untuk membedah perut mereka”. [HR Bukhari no. 4351, Muslim no. 1064 (144) dan Ahmad (III / 4-5) dari Abu Said al Khudri Radhiyallahu 'anhu].
Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu mengatakan: “Barangsiapa menampakkan kebaikan, kami akan menyukai kebaikan yang berbeda dengan itu. Dan orang yang menampakkan kejelekannya, kami akan membencinya meskipun ia mengakui itu baik ”.
3. Sesungguh-sungguh mengizinkan pengingkaran terhadap hal seperti itu, sebaliknya akan membuka peluang bagi ahlus syirk wal fasad (orang yang meminta syirik dan merusak) untuk mengingkari ahlul khair wad diin (orang yang berusaha dengan baik). Ketika mereka melihat orang melakukan perkara yang disyariatkan dan disunnahkan, mereka berkata “orang ini telah meminta riya”. Lalu karena menerima ini, orang yang jujur ​​dan ikhlas akan meninggalkan perkara-perkara yang disyariatkan karena takut ejekan, celaan dan mengakuisisi mereka. Lantas terbengkalailah kebaikan (amal-amal khair) dan tidak terlaksana. Kemudian, hal itu akan menjadi senjata bagi orang-orang yang melakukan syirik untuk tetap dan terus melakukan kegiatan mereka, dan tidak ada pun yang mengingkari. Hal ini merupakan kerusakan yang paling besar.
4. Sesungguhnya hal seperti ini merupakan syi'ar (semboyan) orang yang munafik. Mereka selalu mencela orang yang menampakkan amal yang disyariatkan. Allah berfirman:
“(Orang-orang munafik) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi shadaqah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) sesuai dengan kesanggupannya, maka orang-orang munafik harus menghina Allah. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka adzab yang pedih ”. [at Taubah: 79]
Insya Allah bersambung ……
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09 / Tahun IX / 1426H / 2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016] 
________ 
Catatan kaki 
[1]. Tafsir Ibnu Katsir (III / 120-121), Cet. Maktabah Daarus Salaam. 
[2]. Taujihat Nabawiyah 'ala Thariq, karya Dr. Sayyid Muhammad Nuh, Darul Wafa'. 
[3]. Syarah Muslim (XIII / 50-51). 
[4]. Mu'jamul Wasith (I / 320). 
[5] Al Ikhlas, oleh Dr. Umar Sulaiman al Asyqar, hlm. 94, Cet. Daarun Nafa-is, Th. 1415 H. 
[6]. Tafsir al Qurthubi (XX / 144), Cet. Daarul Kutub al Ilmiyyah, Th. 1420 H. 
[7]. Fathul Bari (XI / 336). 
[8]. Ibid (XI / 336) dan Al Ikhlas, hlm. 95, Dr. Umar Sulaiman al Asyqar.
[9]. Majmu 'Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (X / 227). 
[10]. Syarah Arbain, hlm. 5. 
[11]. Al Ikhlas, hlm. 97, Dr. Umar Sulaiman al Asyqar. 
[12] Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 284, Ibnu Qudamah al Maqdisi, tahqiq Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. 
[13] Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 275-278, Ibnu Qudamah al Maqdisi, tahqiq Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid; Ar Riya 'wa Atsaruhu Sebagai Sayi' fil Ummah, hlm. 17-20. 
[14]. Al Kabair, Imam adz Dzahabi hlm. 212, tahqiq Abu Khalid Al-Husain bin Muhammad As Sa'idi, Cet. Darul Fikr. 
[15] Mukhtashar Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah al Maqdisi, hlm. 280. 
[16]. Al Kabair, Imam adz Dzahabi, hlm. 211. 
[17]. Syarah Arbain, Imam Nawawi, hlm. 6.
[18] Majmu 'Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (23 / 174-175).


No comments:

Post a Comment